Minggu, 10 Oktober 2010

Buruh Tani

Buruh Tani Sulit Menyekolahkan Anak

Bandung, Kompas - Para buruh tani di Rancabolang, Kota Bandung, serta buruh di
kota-kota lain di Jawa Barat, mengalami kesulitan menyekolahkan anak-anaknya.
Pendapatan yang mereka peroleh tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
mereka.

Menurut pengamatan Kompas, para buruh tani berpenghasilan rata-rata Rp 1 juta
per empat bulan. Dengan pendapatan sekecil ini sejumlah buruh tani di
Rancabolang mengaku sulit menyekolahkan anak-anak mereka. Bahkan, buruh-buruh
tani yang ditemui Kompas mengaku memiliki anak yang putus sekolah.

"Dua tahun lalu, anak saya terpaksa keluar dari sekolah menjelang Ebtanas,"
kata Eem (41) tentang nasib anaknya Eep Saiful Anwar (13).

Eep keluar karena tidak bisa membayar tunggakan sekolah menjelang
diselenggarakannya Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) untuk
Sekolah Dasar. Kini Eep hanya tinggal di rumah.

"Saya sakit hati waktu dia terpaksa keluar. Saya sudah bolak-balik datang ke
sekolahnya untuk meminta keringanan biaya. Tapi, guru dan kepala sekolahnya
bilang kalau tidak punya uang berhenti saja," ujar Eem tentang ketidakpedulian
pendidik di sebuah SD di daerah Rancabolang.

Padahal, kata Eem, anaknya masih ingin melanjutkan sekolah. Sekarang jika
melihat temannya sekolah, Eep suka berkata pada Eem, "Emak, lihat tuh, temen
Eep mah pada sekolah," tiru Eem.

Kini setelah anaknya putus sekolah, harapan Eem tentang masa depan anaknya yang
lebih baik semakin tipis. "Saya tidak mau anak saya menderita seperti saya.
Nyari duit susah, karena cuma jadi buruh tani. Tapi, kalau tidak sekolah, mau
jadi apa lagi kalau bukan jadi kuli," ujar Eem yang kini tengah berpikir untuk
memberhentikan lagi pendidikan adik Eep yang duduk di kelas dua SD.

"Sudah tiga bulan saya tidak bayar utang ke renternir. Hutang saya dikenai
bunga 20 persen," ujar Eem yang memiliki hutang Rp 200.000. Kemungkinan
utangnya kini sudah menjadi Rp 370.000.

Utang itu di luar utang pada tetangganya Rp 800.000 yang digunakan untuk
membangun rumah mereka yang terbakar. "Uang itu untuk beli semen dan batako.
Untuk pasir dan batu, tiap hari saya dan Eep mengumpulkannya dari pinggir
jalan," kata Eem. Karena rumahnya dibangun bukan oleh ahlinya, kata Eem, tiap
ada angin, keluarganya keluar karena rumah mereka bergoyang-goyang.

Untuk membantu keluarga, Eep sering membantu Eem menjadi buruh tani. Saat
ditemui, Eep tengah menjemur padi. Ia tidak berani bermimpi bisa sekolah lagi
karena ibunya kesulitan mencari uang.

Ayah Eep sudah lama meninggalkan ia dan ibunya. Ibunya menikah lagi dengan
tukang becak berpenghasilan Rp 6.000 sehari. Dari ayah barunya, Eep memiliki
satu adik.

Tidak seperti ibunya, Eep mengaku masih yakin masa depannya akan lebih baik
dari orang tuanya. "Saya ingin jadi pemain sepak bola," ujar Eep tentang
cita-citanya yang menurutnya tidak perlu ijazah sekolah formal. Hampir setiap
hari, Eep bermain bola di lapangan bola dekat rumahnya.

Enad (54), buruh tani, juga dari Rancabolang mengaku anak bungsunya tidak
melanjutkan sekolah ke SMU karena tidak punya uang. Anak Enad lulus SMP pada
tahun 2004.

"Saya harus sedia uang Rp 3 juta. Saya punya uang dari mana? Dapat Rp 1 juta
kalau panen saja, habis buat makan dan modal kerja," kata Enad yang biasa panen
empat bulan sekali. Menurut Enad, sampai kini anaknya masih ingin sekolah,
namun Enad tidak memiliki tabungan.

"Kapan itu, sekolah digratiskan? Denger-denger mau gratis," kata Enad. "Saya
bersyukur sekali kalau pemerintah mau membebaskan biaya sekolah," kata Enad.

Aning (53), pria dengan delapan anak ini mengaku anak sulung dan keduanya
terpaksa hanya lulus SMP karena tidak ada biaya. Karena ia tidak ingin
anak-anaknya yang lain putus sekolah, selain menjadi buruh tani, Aning menjual
tenaganya sebagai buruh bangunan dan satpam. Ia nyaris tidak punya waktu
beristirahat. Dengan berbagai pekerjaan itu, penghasilannya sebulan rata-rata
sekitar Rp 200.000.

Transportasi
Di sisi lain, beban pendidikan anak justru makin bertambah lantaran biaya
transportasi menuju sekolah meningkat sejak kenaikan harga BBM.

Utoh (35), warga Desa Majalaya, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur,
mengaku hanya sanggup menanggung biaya pendidikan Marno (14), anaknya, sampai
lulus sekolah dasar (SD). "Karena lokasi sekolahnya dekat dengan rumah, saya
tidak perlu mengeluarkan uang transpor anak-anak ke sekolah. Jadi, saya cuma
membayar uang SPP," ujarnya.

Namun penghasilannya sebagai buruh tani yang berkisar Rp 250.000 per bulan,
tidak mencukupi untuk menanggung biaya pendidikan dan transportasi anaknya dari
rumah ke sekolah menengah pertama terdekat. Untuk mencapai SMP berjarak enam
kilometer dari rumahnya, Marno membayar ojek Rp 2.000 sekali jalan.

Utoh berharap, nantinya dana kompensasi BBM yang disalurkan pemerintah pusat
tidak terbatas pada pembebasan uang sekolah tetapi juga ada subsidi
transportasi bagi murid bersangkutan. "Saya ingin anak saya bisa melanjutkan
sekolah, tidak hanya membantu orangtua kerja di sawah seperti sekarang. Tapi
kalau ongkos transpornya terus naik, saya tidak sanggup," ujarnya.

Mengutip data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten
Cianjur tahun 2003, jumlah anak usia tujuh sampai 15 tahun sebanyak 378.152
orang. Sebanyak 83,22 persen dari total jumlah anak usia sekolah itu masih
duduk di bangku sekolah. Ini berarti sebanyak 63.443 anak yang menjadi sasaran
wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) putus sekolah.

"Ini merupakan data yang kami himpun di lapangan," kata Kepala BKKBN Cianjur
Saeful Millah. Menurut dia, kemungkinan sebagian anak usia sekolah itu memilih
untuk belajar melalui program pendidikan non formal untuk memperoleh ijazah
persamaan. (Y09/EVY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar